Kesaksian
"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." Roma 8:28
Berawal pada tanggal 6 Juni 2020 pukul 15.00, Hotben suami saya pulang dari kegiatan di luar rumah dalam kondisi yang tidak enak badan. Saat itu saya berpikir ia hanya kecapean saja, dan mengingatkannya untuk beristirahat dan saya buatkan teh panas.
Menjel...
"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." Roma 8:28
Berawal pada tanggal 6 Juni 2020 pukul 15.00, Hotben suami saya pulang dari kegiatan di luar rumah dalam kondisi yang tidak enak badan. Saat itu saya berpikir ia hanya kecapean saja, dan mengingatkannya untuk beristirahat dan saya buatkan teh panas.
Menjelang malam dia mengeluh; merasakan tidak enak badan, selain meriang badannya juga makin panas dan ternyata suhu tubuhnya naik sampai dengan 38 derajat Celcius, padahal sudah minum obat paracetamol.
Semakin malam saya mulai panik, saya share ke beberapa teman tentang keadaan suami saya dan sempat diarahkan untuk konsul ke Halodoc. Dalam kondisi pandemi seperti ini, kami sekeluarga berusaha untuk menghindari rumah sakit dan dokter. Saat itulah saya teringat kepada seorang teman baik saya sejak SMP yang suaminya seorang dokter paru-paru, tetapi mereka tinggal di sebuah kota kecil di dekat Palembang. Malam itu saya konsultasikan dengannya, dia agak kaget mendengar keluhan-keluhan suami saya dan mengingatkan saya untuk tidak menganggap sepele, terlebih lagi karena suami saya punya riwayat sakit jantung.
Singkat cerita dokter tersebut menuliskan resep obat antiobiotik dan beberapa vitamin yang saya harus beli malam itu juga, langsung menyuruh kami melakukan protab seperti menjaga jarak, memakai masker dan lain-lain. Malam itu adalah malam di mana saya mulai merasakan panik dari perasaan yang tidak ada apa-apa menjadi sesuatu yang menakutkan. Saya sampai tidak sanggup berpikir bagaimana mau membeli obat secara online (padahal sudah pernah beberapa kali saya lakukan). Puji Tuhan ada beberapa anak-anak Youth yang tinggal di dekat rumah kami, malam itu mereka mau menolong untuk membelikan obat. Pukul 21.00 suami saya minum obat dan suhu badannya mulai mereda. Malam itu saya juga menginformasikan perihal kondisi kami kepada pihak gereja Medan dan sekitar jam 11 malam, kami dibantu rapid tes dari pihak gereja dan hasilnya non reaktif.
Keesokan harinya, kondisi Hotben suami saya demamnya turun naik, ia juga merasakan batuknya semakin parah dan sesak nafas ketika tidur. Saya terus konsultasikan keadaan suami dengan teman saya yang dokter, dan saat itu diarahkan untuk pemeriksaan rontgen ke Prodia, karena kami tetap tidak mau ke rumah sakit. Karena hari itu adalah hari Minggu, maka kami melakukan rontgen pada hari Senin pagi, dan hasilnya masih tidak menunjukkan hal-hal yang menguatirkan. Jadi kami hanya disarankan untuk tetap melanjutkan obat dan melakukan protokol kesehatan.
Tetapi kira-kra jam 15.00 tiba-tiba saya merasakan sakit kepala hebat, saya coba minum paracetamol, namun tidak kunjung membaik. Semakin sore, badan saya semakin tidak karuan rasanya, meriang, dan suhu tubuh saya naik ke 38 - 39 derajat Celcius. Sahabat saya mengarahkan untuk minum obat yang sama dengan suami, tetapi saat itu saya masih berpikir mungkin hanya kecapean, sehingga saya tidak minum antibiotik, tetapi hanya obat penurun demam saja.
Hari itu, saya, suami dan anak-anak masing-masing mulai menjaga jarak dan pisah tidur. Jujur saja saat itu saya bertanya-tanya, apa benar gejala COVID-19 seperti ini? Saya hanya berdoa kalau memang Tuhan ijinkan kami terpapar, paling tidak berikan kami kekuatan untuk melewatinya (saya diingatkan tentang iman Sadrakh, Messakh, Abednego). Saat itu saya juga terus meng-update kondisi kami dengan pihak gereja, dan mereka menenangkan kami untuk tidak berpikir terlalu jauh dengan mengatakan mungkin hanya kecapean.
Setelah beberapa hari, keadaan suami walau sudah tidak mengalami panas, tetapi dia masih terus batuk-batuk parah dan badannya lemas, sama yang seperti saya alami dan kami mulai kehilangan nafsu makan. Seluruh badan kami rasanya sakit semua, gejalanya mirip seperti DBD atau typus. Sampai akhirnya saya bertanya kepada teman saya secara mendetail, apakah kami termasuk dalam kategori PDP (Pasien Dalam Pengawasan), dan dia menjawab; secara medis “iya”. Sampai akhirnya kami diarahkan untuk konsultasi langsung ke dokter paru-paru pada salah satu rumah sakit swasta di Medan yang cukup baik.
Hari Rabu tanggal 10 Juni 2020, saya bersama suami konsultasi dengan dokter yang ditunjuk. Saat itu saya langsung diarahkan rontgen. Dokter tidak langsung memvonis kami COVID-19, karena melihat hasil rontgen paru kami yang masih dalam kategori baik. Tetapi dokter memberikan kami obat untuk rawat jalan dan mengarahkan kami kontrol setelah 1 minggu dan setelah obat habis.
Singkat cerita 1 minggu pun berlalu, obat sudah habis, dan untuk kondisi saya memang sedikit membaik, namun berbeda dengan suami saya, dia masih batuk-batuk parah, bahkan dia sempat mengeluh dan marah, kenapa sepertinya tidak ada efek dari obat-obat yang diminum?
Pada tanggal 17 Juni 2020 kami pun kembali kontrol ke dokter dan menyampaikan semua keluhan-keluhan yang masih dirasakan, sampai akhirnya dokter mengarahkan kami untuk Swab mandiri. Dia tidak memberikan obat lagi, karena harus tahu hasil Swab kami terlebih dahulu.
Akhrnya setelah konsultasi dengan Bapak Gembala kami di Medan, beliau mendukung kami Swab tanpa harus pusing memikirkan masalah biayanya yang memang cukup mahal di Medan. Maka tanggal 17 Juni 2020 pukul 15.00 kami menjalani Swab Mandiri, di mana hasilnya keluar dua hari kemudian yaitu pada tanggal 19 Juni 2020 pukul 21.00, dan hasilnya kami berdua positif COVID-19.
Sejujurnya... selama menjalani isolasi mandiri 14 hari di rumah, saya secara pribadi banyak minta pengertian dari Tuhan dan saya berusaha untuk tetap tenang; juga bersyukur apabila hasilnya positif, tetapi ketika kami menerima hasil Swab dan "positif", tidak bisa dibohongi saat itu kami seperti disambar petir. Malam itu juga, kami langsung memberitahukan hal itu kepada keluarga inti dan Gembala kami di sini.
Pada awalnya kami berpikir setelah melewati 14 hari isolasi mandiri di rumah, kami pasti diijinkan untuk melanjutkan isolasi tersebut tanpa harus isolasi di rumah sakit, mengingat kedua anak kami yang tidak mungkin kami tinggal. Ternyata ketika kami konsultasikan dengan dokter sahabat kami di Palembang yang langsung berkomunikasi dengan dokter paru-paru di Medan, malam itu kami diinstruksikan agar besok pagi tanggal 20 Juni 2020 segera isolasi di rumah sakit, cukup dengan membawa hasil Swab.
Malam itu, saya dan suami seperti mimpi. Kami menjelaskan kepada kedua anak kami dan mereka pun hanya bingung saja sambil manggut-manggut. Malam itu saya hanya bisa berdoa dan menangis karena harus meninggalkan kedua anak-anak saya tanpa ada pengawasan orang dewasa, tetapi saya dikuatkan oleh keluarga, pemimpin gereja, dan juga sahabat-sahabat saya untuk mengutamakan kesehatan kami terlebih dahulu.
Puji Tuhan, saya percaya Tuhan yang memberikan kekuatan dan Tuhan pula yang menyertai kedua anak kami Naomi dan Henokh selama kami isolasi di rumah sakit. Ada banyak orang yang Tuhan kirimkan untuk kedua anak kami, terutama untuk kebutuhan makan, minum mereka. Juga perhatian dari keluarga, sahabat yang terus memantau, menelpon anak-anak setiap hari, supaya mereka tidak lupa makan, minum untuk sehat dan tidak merasa kesepian.
Selama 26 hari saya dan suami menjalani isolasi di rumah sakit, kami baru menyadari bahwa pertolongan tangan Tuhan sangat luar biasa; khususnya kepada suami saya. Dokter menjelaskan kepada kami bahwa ketika masuk rumah sakit, seluruh paru-paru suami saya ternyata sudah berkabut, bahkan hasil darahnya pun menunjukkan kekentalan darah yang secara manusia biasanya bisa mengakibatkan stroke, bahkan bisa fatal. Tetapi Puji Tuhan, saat itu suami masih dalam kondisi baik-baik saja tanpa perlu masuk ICU ataupun memakai alat bantu pernafasan, walau cukup lama merasakan batuk-batuk; bahkan sempat buang-buang air dan merasakan sesak nafas. Anak saya yang sulung, Naomi juga mendapatkan hasil Swab positif beberapa hari setelah itu, sehingga dia diharuskan isolasi juga di rumah sakit selama 14 hari. Sementara anak saya Henokh yang bungsu karena hasil Swab nya negatif kami titipkan ke pamannya.
Selama di rumah sakit saya sempat mengalami titik terendah yaitu ketika hasil Swab ke-1 dan ke-2 hasilnya di hari 14 hasilnya masih positif, karena saya merasakan tubuh saya sudah kuat dan berharap bisa pulang, namun kenyataan yang ada tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Hari itu saya menangis dan kesal, namun yang luar biasanya saat itu Roh Kudus menghibur dan memberikan pengertian bahwa saya seorang istri dan juga seorang ibu, apabila iman saya lemah maka suami dan anak-anak saya akan lemah, sehingga saya memutuskan untuk kembali bersukacita.
Saat itu saya berkata kepada Tuhan; mau berbulan-bulan pun Tuhan ijinkan kami di rumah sakit, kami tidak perduli, asalkan Tuhan bersama dengan kami. Sejak kejadian itu, kami membangun mezbah doa bertiga (sebelumnya kami hanya doa masing-masing), berdoa bagi pasien-pasien di bangsal kami. Yang herannya beberapa hari kemudian, dari bangsal kami ada pasien yang meninggal, tetapi kami tidak merasakan ketakutan sama sekali. Bahkan anak saya pun dengan beraninya mengambil foto dari jenazah tersebut.
Pada hari ke-18 di rumah sakit, tanpa saya ketahui ternyata suami saya sempat mengalami kondisi di mana ia tidur seperti akan terlelap, dan tidak bisa bangun. Keadaan ini membuat suami saya sempat ketakutan untuk tidur. Tiba-tiba Firman Tuhan datang menguatkannya dari Bilangan 18:20,
“Tuhan berfirman kepada Harun: “Di negeri mereka engkau tidak akan mendapat milik pusaka dan tidak akan beroleh bagian di tengah-tengah orang Israel”.
Ayat ini membuat dia menangis. Dari apa yang dialami pada malam itu, suami menjadi lebih kuat menghadapi semuanya.
Setelah 26 hari kami menjalani isolasi di rumah sakit dan setelah kontrol ke dokter paru, melihat keadaan kami membaik akhirnya kami dianjurkan pulang ke rumah dan isolasi mandiri selama 30 hari lagi. Pergumulan isolasi mandiri di rumah adalah, kami harus belanja kebutuhan rumah secara online, dari bumbu dapur sampai dengan kebutuhan rumah tangga yang lainnya. Bukan perkara yang mudah buat kami, mengingat kamipun baru 1 tahun pindah ke Medan. Jadi kami harus banyak bertanya dan cari tahu supermaket online, belum lagi mencari toko buah online yang tidak mahal. Tetapi semua itu kami lewati dengan sukacita.
Dengan semua apa yang sudah kami lewati, sekarang kami bersyukur dan bersukacita karena kami telah sembuh dari COVID-19. Kami bisa berbagi dengan apa yang kami alami, juga menguatkan orang-orang atau teman-teman yang tepapar virus ini, dan kami tahu Roma 8:28 adalah ayat Firman Tuhan pegangan kami, bahwa sungguh semua ini mendatangkan banyak kebaikan bukan hanya buat kami, tapi juga buat banyak orang.
Tuhan Yesus memberkati.
Sekretariat Pusat
Jl. Boulevard Barat Raya Blok LC-7 No. 48 - 51
Kelapa Gading, Jakarta 14240
Telp. 021 - 452 8436
Sekretariat Operasional
SICC Tower Jl. Jend Sudirman Sentul City Bogor 16810
Telp. 021 - 2868 9800 / 2868 9850
Website: www.hmministry.id
email: info@hmministry.com
Our Media Social :
PENANGGUNG JAWAB
Pdm. Robbyanto Tenggala