Kesaksian
“Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN.”
(Mazmur 118:17)
Nama saya Fandy. Saya mau menyaksikan perbuatan besar Tuhan atas hidup saya ketika pada bulan Maret 2020 saya dinyatakan positif COVID-19.
Tanggal 12 Maret 2020 saya merasakan seperti masuk angin, tidak enak badan, sedikit demam, namun pada saat itu saya berpikir kalau ini hal biasa. Setelah beberapa hari minum...
“Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN.”
(Mazmur 118:17)
Nama saya Fandy. Saya mau menyaksikan perbuatan besar Tuhan atas hidup saya ketika pada bulan Maret 2020 saya dinyatakan positif COVID-19.
Tanggal 12 Maret 2020 saya merasakan seperti masuk angin, tidak enak badan, sedikit demam, namun pada saat itu saya berpikir kalau ini hal biasa. Setelah beberapa hari minum obat saya merasa lebih baik, tetapi demam yang saya alami itu naik turun. Akhirnya pada tanggal 12 Maret 2020 saya pergi ke dokter. Saat itu saya langsung ke IGD untuk melakukan cek darah, dan hasilnya semua baik. Jadi saya diberi obat dan diijinkan pulang. Tetapi karena tidak sembuh–sembuh dan terus menerus mengalami demam yang cukup tinggi sampai tidak bisa makan, akhirnya tanggal 20 Maret 2020 saya kembali lagi ke Rumah Sakit. Karena saya tidak bisa makan, akhirnya saya dirawat inap.
Ketika proses pemeriksaan dilakukan lebih lanjut, dokter menemukan ada flek di paru-paru saya sehingga mereka mengirim sampel dari hasil pemeriksaan paru-paru saya ke Rumah Sakit rujukan COVID-19 di kota Bandung. Di pagi hari tanggal 21 Maret 2020 saya dinyatakan kemungkinan terkena COVID-19, jadi status saya masih PDP (pasien dalam pengawasan).
Sejak pagi itu saya tidak bisa dikunjungi dan harus diisolasi. Kemudian pada hari sabtu malam memasuki hari minggu subuh saya dijemput oleh 3 petugas rumah sakit yang berpakaian APD ke Rumah Sakit rujukan COVID-19 di kota Bandung yaitu RS. Hasan Sadikin, karena memang Rumah Sakit lain belum siap untuk menerima pasien COVID-19. Jujur secara manusia saya sedikit merasakan takut melihat saya dijemput oleh orang-orang yang berpakaian APD seperti itu dan dimasukkan ke dalam ambulans.
Pihak rumah sakit memberikan instruksi untuk harus kembali melakukan tes lebih lanjut sebagai pasien yang sedang dalam pengawasan COVID-19. Tes yang dilakukan adalah tes Swab. Saat itu saya berharap dan berdoa agar tes Swab saya itu hasilnya negatif. Saat itu saya sangat percaya sekali bahwa hasilnya nanti adalah negatif. Di Rumah Sakit itu saya seruangan dengan beberapa rekan-rekan pelayanan yang juga suspect COVID-19 atau dalam pengawasan di mana mereka juga menunggu hasil dari tes Swab. Dua hari berikutnya hasil tes Swabnya keluar dan salah satu rekan diijinkan pulang. Jujur saat itu saya secara mental saya merasa sedikit lemah. Sewaktu saya menanyakan hasil tes Swab saya, ternyata belum keluar. Jadi saat itu saya masih berharap agar hasil tes Swabnya negatif dan saya pun bisa pulang. Keesokan siang harinya tanggal 24 Maret 2020, dokter datang dan tiba-tiba saya berserta seluruh barang-barang juga dipindahkan. Saat itu juga saya dinyatakan positif COVID-19.
Secara manusia saya merasa sangat tidak berdaya dan takut sekali, karena waktu itu beberapa pemimpin gereja dan hamba Tuhan dipanggil Tuhan. Hal itu membuat saya ketakutan dan apalagi setelah dokter berkata bahwa penyakit ini tidak ada obatnya, jadi saya harus meningkatkan imunitas tubuh agar saya bisa melawan penyakit COVID-19 ini.
Waktu itu saya benar-benar bingung dan lemah sekali karena sekali lagi. Jujur secara manusia saya merasa kuatir dan juga merasa panik dimana mungkin sebentar lagi giliran saya menjadi korban dari COVID-19. Karena di ruang isolasi saya melihat beberapa rekan juga mengalami sesak napas dan sampai akhirnya ada beberapa juga yang dipanggil Tuhan waktu itu. Jadi secara manusia saya takut dan saya merasa bahwa sepertinya saya juga akan mengalami hal yang sama dengan rekan-rekan saya itu.
Hari demi hari berlalu, kondisi saya semakin turun, demam saya semakin meningkat kurang lebih 39-40 derajat bahkan sampai menggigil dan juga oksigen dalam darah saya menurun sehingga saya harus dibantu dengan oksigen. Puji Tuhan saya tidak terus masuk dalam masa kritis. Selama beberapa hari itu saya tidak bisa tidur, tetapi disuatu pagi seorang hamba Tuhan memberikan saya sebuah ayat, yakni Mazmur 118:17 yang berkata:
“Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN.”
Ayat itu seakan menjadi suara Tuhan kepada saya dan menjadi rhema bagi saya. Akhirnya saya deklarasikan bahwa saya tidak akan mati, saya akan hidup dan saya akan menceritakan perbuatan-perbuatan Tuhan. Jadi setiap hari saya deklarasikan ayat tersebut , saya deklarasikan Mazmur 91, saya juga deklarasikan ayat yang lain seperti Mazmur 121 di mana Tuhanlah pertolonganku, Tuhanlah yang menjaga keluar dan masukku. Jadi sepanjang hari-hari itu saya berusaha untuk mendorong diri saya agar terus percaya kepada Tuhan.
Memang hal ini adalah sesuatu yang tidak mudah karena benar-benar tidak ada harapan yang lain selain Tuhan, karena saat itu secara medis, tidak ada obatnya untuk penyakit COVID-19 ini. Manusia pun tidak ada yang bisa membantu. Jadi saat itu benar-benar saya merasa bahwa Tuhan ijinkan saya dipojokkan dan saya hanya bisa melihat Tuhan sebagai satu-satunya sumber pertolongan.
Satu minggu kemudian saya melakukan tes Swab untuk kedua kalinya. Jujur saya berkata bahwa tes ini hasilnya pasti akan negatif, saya sembuh, saya sembuh. Tetapi ternyata hasil dari tes tersebut masih positif. Saya bertanya kepada Tuhan kenapa begini, kenapa begitu? Tetapi saya terus mendorong diri saya untuk terus percaya kepada Tuhan. Saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa saya harus berjuang dan saya harus menang, karena kalau Tuhan sudah berjanji saya hidup, saya pasti hidup dan saya tidak boleh kalah. Jadi saya terus mencoba memaksakan diri saya. Kondisi fisik saya lemah sekali. Jalan ke kamar kecil pun kadang-kadang sangat sulit, tetapi waktu itu saya bersikeras untuk harus jalan pagi dan saya harus membereskan tempat tidur saya setiap hari. Jadi saya ingin menunjukkan bahwa saya harus berjuang untuk menyatakan kepada diri saya sendiri bahwa saya harus hidup. Mungkin dari antara banyaknya pasien COVID-19 yang berada di rumah sakit, saya salah satu pasien yang hampir setiap hari harus jalan baik di dalam ruangan atau waktu saya berada di ruangan yang lebih besar saya tetap usahakan untuk berolahraga.
Saya ingin menunjukkan dan mendorong diri saya untuk percaya bahwa janji Tuhan kepada saya pasti digenapi. Di samping itu saya belajar bahwa hati yang gembira adalah obat. Saya mulai untuk tidak menjadi kuatir, saya juga tidak mengijinkan pikiran yang negatif menguasai saya. Sangat tidak mudah berada dalam situasi seperti itu. Setiap kali perawat atau dokter datang ke ruang tempat saya dirawat memakai pakaian APD, itu menjadi trauma bagi saya. Saya suka berdebar-debar dan jantung saya berdetak dengan sangat cepat. Setiap kali diperiksa hasilnya menunjukkan hasil yang semakin baik namun detak jantung atau denyut nadi terkadang tidak normal. Kadang bisa berdetak 140-150 per menit sampai dokter menyangka saya mungkin memiliki penyakit jantung, tetapi saya berkata kepada dokter bahwa saya begini kalau ada dokter atau perawat datang karena mungkin trauma. Tetapi saya harus berjuang dalam hal ini. Setiap hari saya terus katakan bahwa hati yang gembira adalah obat dan saya juga nyanyikan pujian mengenai ‘hati yang gembira adalah obat’.
Hari demi hari perlahan-lahan Tuhan terus pulihkan tubuh saya dan pada tes Swab yang ketiga tanggal 7 April 2020 akhirnya saya dinyatakan negatif dan tes Swab yang keempat pun saya dinyatakan negatif, sehingga tanggal 18 April 2020 saya diperbolehkan pulang kerumah dengan hasil 2 kali negatif.
Masa-masa itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilalui, tetapi saya bersyukur karena saya tidak sampai harus menggunakan ventilator, atau mengalami kondisi koma. Bagi saya; satu bulan di Rumah Sakit adalah perjuangan untuk terus percaya kepada Tuhan, perjuangan untuk hanya berharap kepada Tuhan.
Satu hal yang tidak mudah bagi saya karena harus terpisah dengan keluarga dan kadang-kadang saya pun tidak berani melakukan video call dengan anak-anak karena setiap kali video call di pikiran saya lalu bertanya-tanya; apakah saya masih bisa bertemu dengan mereka? Itu yang membuat saya sedih dan kesedihan itu membuat saya lemah kembali.
Setelah di rumah pun meski pun sudah 3 bulan berlalu sejak kesembuhan saya, terkadang trauma itu masih ada, tetapi saya terus minta kepada Tuhan agar saya menang terhadap trauma tentang hal-hal yang pernah terjadi di masa-masa saya diisolasi di Rumah Sakit karena COVID-19 ini.
Satu hal yang saya dapat saksikan adalah bahwa di masa-masa ini Tuhan ijinkan segala sesuatu terjadi agar kita terus bergantung sepenuhnya kepada Tuhan karena tidak ada yang lain yang bisa menolong kita kecuali Tuhan Yesus. Saya berharap bahwa ini dapat menjadi suatu proses bagi kita semua untuk mempercayai Tuhan lebih lagi Amin.
Sekretariat Pusat
Jl. Boulevard Barat Raya Blok LC-7 No. 48 - 51
Kelapa Gading, Jakarta 14240
Telp. 021 - 452 8436
Sekretariat Operasional
SICC Tower Jl. Jend Sudirman Sentul City Bogor 16810
Telp. 021 - 2868 9800 / 2868 9850
Website: www.hmministry.id
email: info@hmministry.com
Our Media Social :
PENANGGUNG JAWAB
Pdm. Robbyanto Tenggala