Kesaksian
"Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku.
Bila ia berseru kepada-Ku Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan menjawab, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.
Dengan panjang umur akan kukenyangkan dia, dan akan kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku.”
Mazmur 91:14-16
Memasuki bulan Maret 2020 penyebaran COVID-19 mulai merebak di Indonesia....
"Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku.
Bila ia berseru kepada-Ku Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan menjawab, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.
Dengan panjang umur akan kukenyangkan dia, dan akan kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku.”
Mazmur 91:14-16
Memasuki bulan Maret 2020 penyebaran COVID-19 mulai merebak di Indonesia. Virus ini tanpa ampun menyerang siapa saja saja tanpa memandang bulu. Tua, muda, kaya, miskin, tanpa melihat status sosial yang ada. Ini pula yang yang dialami oleh Pak Michael Tumiwa, atau yang lebih dikenal dengan 'Ko Mike'; seorang pelayan Tuhan, imam musik yang melayani di GBI JIS. Pada kesempatan ini ia berbagi kisah bagaimana ia bisa terlepas dari COVID-19.
Pertengahan bulan Maret 2020 saya mengalami demam, suhu tubuh saya mencapai 38°C. Saat itu banyak yang belum begitu paham tentang COVID-19, saya pun belum begitu tahu gejala dari penyakit ini. Maka saat demam saya minum Panadol, dan demam pun mereda. Namun berselang 4 hari kemudian saya demam lagi disertai dengan batuk. Saya masih berpikir bahwa itu hanya sakit flu biasa, jadi saya minum Panadol lagi beserta dengan obat batuk, tetapi demam dan batuk saya tidak kunjung membaik. Terus berlanjut sampai pada hari ke-7, saya mulai merasakan ada gangguan di pernapasan. Saya kesulitan menarik napas panjang, napas saya jadi pendek-pendek.
Tidak lama kemudian pemerintah mulai memberitahukan melalui media, televisi tentang gejala awal dari COVID-19. Saya melihat dari sekian banyak daftar gejalanya hanya sebagian kecil yang saya rasakan. Apa yang saya alami saya anggap masih dalam batas normal karena saya tidak mengalami sesak napas.
Hingga pada suatu hari saya konsultasikan tentang kondisi saya pada salah satu dokter melalui WA, dan dokter tersebut meminta saya untuk segera melakukan cek darah ke lab. Dari hasil lab tersebut saya terindikasi typhus, dan saya pun diberi obat antibiotik. Setelah beberapa hari mengkonsumsi obat tersebut keadaan saya tidak ada kemajuan, saya tetap demam, batuk saya tidak berhenti juga, napas pendek-pendek saya semakin menjadi.
Akhirnya saya pergi berobat ke dokter. Karena tidak ada perubahan yang membaik, dokter pun menyuruh saya untuk melakukan rontgen paru. Dari hasil rontgen tersebut terlihat di pinggiran paru-paru saya seperti ada kabut.
Saat itu rapid tes belum mudah seperti sekarang, saya harus menunggu dan akhirnya saya di rapid tes di RS, juga rontgen paru. Hasil rapid tes saya negatif, tetapi hasil rontgen paru saya tidak begitu baik, paru-paru saya putih berkabut.
Melihat hasil tersebut dokter pun meminta saya untuk masuk rawat inap di RS. Saya sempat menolak untuk diopname karena saya paling anti sama yang namanya RS. Saya menolak dengan alasan hasil rapid tes saya negatif, namun dokter menjelaskan bahwa hasil negatif berarti bisa jadi 'belum positif'.
Saat itu tiba-tiba saya diingatkan kembali oleh perkataan gembala saya yang beberapa kali sempat bertemu di RS: "Dokter katakan apa, kamu ikuti saja". Akhirnya saya menyetujui untuk di opname dengan ditemani oleh istri saya Belle.
Saya diberi beberapa obat untuk penyembuhan COVID-19. Awalnya saya bertanya mengapa saya diberi obat untuk penderita COVID-19. Namun dokter tetap meminta saya untuk minum obat itu.
Hari ke-3 dirawat, keadaan saya memburuk, terutama pada pernapasan. Hasil rontgen paru menunjukan hampir semuanya putih. Bisa dibayangkan betapa cepatnya proses perkembangan virus ini menghajar tubuh saya.
Melihat kondisi yang saya alami, saya mulai takut, gelisah dan bingung. Timbul pertanyaan dalam hati, saya sakit apa? Apalagi hasil rapid tes yang kedua hasilnya reaktif. Kondisi saya mulai memburuk.
Pada hari ke-4, tiba-tiba saya mendadak cegukan. Segala cara dilakukan untuk menghentikan cegukan yang saya alami, dari pencet jempol, minum air hangat, tahan napas... namun semuanya itu tidak menghentikan cegukan saya. Karena sudah tidak tahan lagi akhirnya saya memanggil suster, setelah konsultasi dengan dokter saya pun disuntik. Puji Tuhan cegukannya langsung berhenti, namun selang 10 menit kemudian mendadak saya sesak napas. Saya coba bernapas lewat hidung, pakai mulut namun sedikit sekali oksigen yang masuk.
Jujur saja saat itu saya mulai takut, saya bilang ke istri saya, "Tolong kerokin saya". Ia masih belum tahu apa yang saya rasakan, malah sempat bertanya: "Tumben kamu dikerik tidak teriak". Saya menjawab: "Mau teriak gimana? Mau nafas saja susah." Saat itu Istri saya kaget! Dia langsung lari memanggil dokter.
Saya disuntik diinfus, dan diberitahukan bahwa suntikan ini memang agak sakit. Tetapi baru setengah ampul infus saya sudah tidak tahan lagi, karena badan, bola mata saya serasa mau meledak! Sakitnya luar biasa. Kepala saya pun terasa mau pecah, saya sampai berteriak kesakitan. Baru kali ini saya mengalami sakit yang seperti itu, untuk buka mata pun pandangan mata saya gelap, badan terasa sakit dan sesak napas. Saat itu saya berpikir mungkin hidup saya tidak lama lagi, saya genggam tangan istri saya, mungkin inilah yang terakhir saya menggenggam tangan istri saya.
Pada saat itu saya seperti sedang mengalami berada pada satu titik terendah di mana hidup saya akan berakhir. Saya takut sekali dan saya terus berdoa minta ampun sama Tuhan, saya terus minta ampun, saya tidak sempurna dan banyak hal yang saya kerjakan tidak sempurna.
Pada saat itulah saya mendengar suara: "Kamu perangi roh-roh maut yang ada di luar sana." Saya merasakan dorongan hati yang sangat kuat untuk berdoa. Saya minta istri untuk memapah saya ke jendela, saya katakan saya mau berdoa memerangi roh maut. Melihat kondisi saya yang sedang sakit, istri saya sempat bertanya: "Apa kamu kuat?" Selama10 menit saya doa peperangan di depan jendela.
Tiba-tiba napas saya mulai kembali meskipun belum sempurna, setelah itu saya kembali ke ranjang. Hari sudah larut malam. Saya melihat istri langsung tidur di sofa, mungkin kelelahan, sedangkan saya tidak berani tidur. Jujur saya takut hidup saya 'lewat'; tidak bangun lagi, saya masih ada rasa takut. Tetapi akhirnya saya pun tertidur.
Tuhan Yesus baik, saya masih bisa bangun pada keesokan harinya itu adalah anugerah dan mujizat dari Tuhan. Saya bersyukur kalau masih bisa melihat ada istri di samping, saya bisa senyum memegang tangannya itu adalah berkat yang luar biasa. Tuhan terus memulihkan keadaan saya dengan cepat.
Pada hari ke-7, saya sudah disuruh pulang, dan hari itu dokter mengatakan bahwa saya adalah pasien COVID-19 pertama yang sembuh di RS tersebut. Saya melangkah keluar dari RS berdua dengan istri saya, kami hanya bisa menangis. Dalam hidup ini, 'waktu' tidak bisa terulang. Kalau saya masih hidup, masih bisa pulang dari RS nyetir mobil sendiri, saya sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kepada saya kesempatan kedua. Dengan mujizat Tuhan pemulihan kesehatan saya berlangsung dengan cepat sekali.
Setelah saya sembuh melewati dan mengalami ini semua, saya baru mengerti arti dari Mazmur 91 pada ayat yang ke-5, menuliskan tentang kedahsyatan malam. Karena waktu menjelang sore ke malam saat itu yang saya rasakan sangat mencekam, saya merasakan atmosfir berubah, damai sejahtera hilang. Ternyata istri saya sudah melihat ada roh maut, makanya ia terus berdoa peperangan untuk saya.
Dari semua yang saya alami, sampai saya berada di satu titik yang sepertinya hidup kita akan habis, di situlah kita baru menyadari bahwa kita bukanlah siapa-siapa dan kita tidak ada apa-apanya. Kesehatan, keluarga, damai sejahtera itu adalah berkat dari Tuhan. Berkat jangan selalu di kaitkan dengan uang. Saya bisa lolos dari maut itu karena Tuhan. Saya belajar banyak hal, termasuk bahwa hidup ini sangat berharga, setiap tarikan napas itu tidak bisa dibeli dengan uang. Selama kita masih bisa bernapas, lakukan yang terbaik buat Tuhan, juga buat keluarga. Karena semuanya itu tidak akan pernah terulang lagi. Jadi hargailah hidup ini.
Puji Tuhan. Sekarang saya juga sudah menjadi donor darah plasma bagi penderita COVID-19. Tuhan Yesus baik, mujizat-Nya tetap ada dan tidak pernah berubah.
Mengucap syukur kepada Tuhan Yesus yang begitu baik kepada saya, kepada keluarga, juga kepada Gembala, Bapak Rohani dan Saudara-saudara seiman yang selalu mendoakan dan mensupport saya sampai saya pulih sempurna. Amin.
Sekretariat Pusat
Jl. Boulevard Barat Raya Blok LC-7 No. 48 - 51
Kelapa Gading, Jakarta 14240
Telp. 021 - 452 8436
Sekretariat Operasional
SICC Tower Jl. Jend Sudirman Sentul City Bogor 16810
Telp. 021 - 2868 9800 / 2868 9850
Website: www.hmministry.id
email: info@hmministry.com
Our Media Social :
PENANGGUNG JAWAB
Pdm. Robbyanto Tenggala