NEW PARADIGM

"Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur,
yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat."

Mazmur 103:4 TB

Saya bernama Junior Luhut Sianturi, keluarga besar saya sudah menjadi Kristen, sejak kecil saya sudah mengenal sekolah minggu, berdoa dan sebagainya. Namun sejak duduk di bangku SMA, hubungan pribadi saya dengan Tuhan mulai jauh, tidak lagi ke gereja, membaca Alkitab, apalagi berdoa. Hubungan saya dengan Tuhan saat itu seperti terputus sama sekali.

Hidup saya menjadi liar dengan pergaulan yang buruk, dikarenakan saya jauh dari keluarga yang tinggal di Medan. Saya pergi merantau di Jakarta dan hidup sebagai anak jalanan. Ketika saya menikah, tidak ada seorang pun dari keluarga saya yang datang, saya seperti anak yatim piatu saja.

Pernikahan saya dengan Merry dikaruniai putera tunggal bernama Nicki Christ Virgo Sianturi, yang lahir pada bulan September 1996. Namun malang, sekitar tahun 1999 anak saya mulai menunjukkan gejala penyakit seperti demam panas yang sering kambuh. Ketika diobati ia sembuh, tapi sekitar satu dua minggu kemudian penyakitnya kambuh kembali dan terus menerus berulang.

Penyakitnya semakin hari tidak membaik, malahan justru kini tubuhnya nampak ada ruam kebiruan di bagian paha dan lengannya, seperti bekas dicubit. Selain itu keringatnya juga keluar berlebihan sehingga kami harus mengganti pakaiannya setiap malam sekitar 2 sampai 3 kali.

Lama kelamaan saya menjadi curiga, apa yang terjadi dengan anak saya. Sudah lebih dari 3 bulan ia dibawa ke klinik tapi penyakitnya tidak kunjung sembuh. Sampai suatu saat anak saya kembali mengalami demam tinggi sekitar 37.8 derajat celcius, seperti biasa saya membawa dia ke klinik yang ada di daerah Jakarta Selatan. Setelah diperiksa dokter, ia diberi obat penurun panas seperti yang biasanya.

Saya memberanikan diri untuk menceritakan riwayat penyakit anak saya ini. Saya berpikir sepertinya demam panas itu bukan penyakit yang harus diobati tetapi demam panas itu adalah penyebab dari penyakitnya. Kali ini saya meminta kepada dokter agar dibuatkan surat rujukan untuk diperiksa darahnya di laboratorium untuk mengetahui penyakit yang lebih akurat.

Merujuk surat dari dokter tersebut, saya membawa anak saya ke rumah sakit yang ada labnya di daerah Fatmawati. Pada tanggal 7 Juli 2000 dilakukan observasi ulang untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Setelah menunggu selama tiga hari, hasil tes tersebut keluar, anak saya divonis Anemia Aplastik (penyakit langka akibat dari kelainan pada sumsum tulang, yang menyebabkan organ ini tidak dapat menghasilkan cukup sel darah nerah, sel darah putih, trombosit atau ketiganya sekaligus).

Dokter pun memberikan obat yang bernama Ceftizox. Selama 3 minggu diopname akhirnya anak saya diijinkan pulang ke rumah pada tanggal 28 Juli 2000. Namun baru sekitar 2 bulan di rumah penyakit anak saya kambuh kembali.

Saya kembali membawa anak saya ke rumah sakit dan naik ke lantai tiga perawatan khusus anak. Pagi itu baru sekitar pukul 9:00 WIB, saya tiba di rumah sakit dan membaringkan anak saya di ruang tunggu lalu lari menuju ruang perawatan untuk meminta bantuan dokter yang bertugas.

Pagi itu rupanya ada kunjungan dua profesor dokter spesialis kanker anak yang terkenal di Asia. Lantai tiga tersebut memang dikhususkan untuk menangani semua jenis kanker pada anak. Dokter yang menangani anak saya itu kebetulan juga adalah ketua dari tim kanker anak. Saat melihat saya datang, ia langsung bertanya mengenai keberadaan saya datang ke sini. Setelah menceritakan bahwa anak saya kembali kambuh demam panasnya.

Dokter meminta segera membawa masuk anak saya agar dapat diperiksa oleh salah satu professor dokter ahli itu. Darah anak saya diambil untuk dapat diperiksa ulang, setelah tiga hari kemudian hasilnya keluar dan anak saya tetap dinyatakan anemia aplastik.

Namun tim dokter tidak puas dengan hasil tersebut, lalu diambilnya sample BMP (yaitu mengambil sumsum tukang belakang). Setelah tiga hari kemudian hasil sample pun keluar, tim dokter bergegas masuk ke dalam ruang perawatan. Mereka memberitahukan bahwa anak saya menderita Leukimia.

Mendengar kabar tersebut membuat kami sangat terkejut. Saya seperti disambar petir pada siang bolong. Saya seakan tidak percaya mendengar kabar tersebut, hati saya begitu hancur hingga tidak mampu berkata sepatah katapun. Tanpa sadar Istri saya datang mengejutkan saya dengan berkata: “Terus bagaimana?” tanyanya.

Saya meminta saran dari tim dokter, tindakan apa yang harus dilakukan. Dokter menyarankan untuk dilakukan kemoterapi. Saya harus mengisi dan menandatangani formulir untuk setiap resiko yang terjadi atas anak saya. Kalau boleh memilih saya ingin menolak untuk menandatangani surat persetujuan tersebut. Namun saya tidak ada pilihan lain, jadi tidak ada salahnya untuk mencoba pengobatan itu.

Setelah divonis leukimia, satu minggu diopname; rencananya anak saya akan dilakukan tindakan kemoterapi. Sebelum proses kemoterapi tetap diberikan obat Cefizox yaitu obat untuk imun tubuh. Keadaan anak saya sudah semakin pucat dengan keringat yang berlebihan serta minumnya sedikit, makan juga sudah susah, keadaannya yang begitu lemas bahkan bila kaki sudah ditekuk, bila diluruskan harus dibantu dengan mengurutnya dengan pelan-pelan.

Saya menerima resep dokter pada pukul 10:00 pagi dan obat akan digunakan pada pukul 16.00 sore harinya. Saya hanya membawa uang simpanan istri yang hanya tersisa 100 ribu saja. Saat itu istri saya hanyalah seorang penjaga perpustakaan di sekolah dengan gaji sebesar 1.2 juta, sedangkan saya sendiri hanyalah seorang guru honorer yang berpenghasilan hanya sebesar 800 ribu saja.

Sesampainya di apotik rumah sakit, saya begitu kaget karena harga obatnya sebesar 2.100.000 rupiah. Sedang uang yang saya miliki hanya 100 ribu saja. Hati saya begitu sedih, rasanya sendi-sendi kaki saya terasa begitu lemas, saya kembali ke ruang perawatan dengan tangan hampa. Saya bingung, bagaimana caranya saya mendapatkan uang sebesar itu.

Di dalam keputusasaan itu saya mulai teringat akan teman saya dulu ketika masih hidup sebagai anak jalanan, saya mengenal mereka dari kalangan pencopet, perampok sampai bandar narkoba. Tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi salah satu mereka dan menceritakan kesulitan saya. Singkat cerita, mereka bersedia membantu dengan memberi pinjaman sebesar ratusan juta dan berjanji akan menemui saya di rumah sakit pada esok harinya.

Keadaan saya saat itu benar-benar putus asa, tapi tidak membuat saya lari mencari Tuhan, saya tidak ingat Tuhan sama sekali. Pikiran saya hanya ingin mengandalkan manusia. Selesai menghubungi teman saya itu, saya kembali ke ruangan. Dalam situasi itu karena obat diperlukan pukul 16.00, istri saya mengajak saya berdoa. Saya pun terpaksa mengikuti ajakannya demi menyenangkan hati istri saja.

Saya dan istri mulai berlutut di depan anak saya yang terbaring di tempat tidur. Istri saya mulai menaikkan pujian, penyembahan dan doa kepada Tuhan. Jujur pada saat itu saya tidak merasakan apa-apa, semuanya seperti biasa-biasa saja.

Waktu terus berlalu menunjukkan sekitar pukul 2 sore, tiba-tiba kami melihat seorang ibu yang berperawakan kecil datang berkunjung. Kamar isolasi tempat anak saya dirawat harus melewati dua pintu dan pintu ruangan saya diketuk karena ruangan tersebut adalah kaca, jadi saya dapat melihatnya dari dalam.

Saya beranjak dari tempat duduk dan membukakan pintu, Ibu itu berkata kepada saya bahwa ia ingin bertemu dengan anak yang bernama Nicki Sianturi. Saya menjawab: “Oh ya saya papanya, silahkan masuk.” Saya masih ingat ibu itu berperawakan kecil, usianya sekitar 60 tahun, tingginya hanya sekitar 150 cm, tubuhnya kurus, mengenakan pakaian yang dasarnya hitam dengan bunga-bunga berwarna kuning dan merah serta memakai sendal biasa, ia hanya membawa satu majalah XY KIDS. Lalu ibu tersebut menyapa anak saya, “Hallo Nicki, kamu kan suka baca ya?” Anak saya menjawab: “Iya.”

Dalam hati saya berkata mungkin dia adalah rekan atau orangtua murid dari istri saya. Sebaliknya istri saya berpikir hal yang sama mungkin ibu ini adalah rekan suaminya karena kami mengajar di sekolah yang berbeda. Kunjungan ibu tersebut tidak lebih dari 5 menit saja, lalu ibu itu tersenyum dan berkata kepada anak saya: “Kamu hebat, sudah ya, ibu hanya mengantar majalah ini.” Saya menjawab: “Terima kasih.”; lalu mengantar ibu tersebut keluar pintu ruangan.

Setelah pergi saya menutup pintu kembali, majalah itu pun dibuka oleh anak saya dan terjatuhlah sebuah amplop. Dengan penuh penasaran kami membuka amplop itu dan ternyata isi amplop itu ada lembaran uang sebesar 2 juta rupiah. Kami sangat kaget dan baru menyadari bahwa rupanya kami sama-sama tidak mengenal dengan ibu tersebut.

Spontan saya lari keluar mencari ibu itu tapi saya tidak melihat siapapun juga, lorong ruangan itu begitu sepi. Sebenarnya untuk masuk ruangan isolasi anak saya harus melewati dua pintu di depan ada para perawat dan petugas keamanan yang menjaga begitu ketat. Saya sampai bertanya kepada mereka apakah melihat ibu-ibu yang datang berkunjung, namun mereka berkata tidak ada satupun tamu yang datang berkunjung siang itu.

Saya kembali ke dalam ruangan isolasi anak saya dan langsung menangis, saya minta ampun sama Tuhan. Saya berpikir kalau bukan Tuhan, siapa lagi? Saya begitu terheran-heran dan benar-benar kaget. Istri saya berkata: “Tadi kan kita sudah berdoa, saya minta sama Tuhan, bukankah anak ini Tuhan yang kasih.’’ Saya jadi teringat saat itu juga kami sudah divonis untuk tidak bisa memperoleh keturunan. Kami sudah periksa kepada dua rumah sakit berbeda di Jakarta dan Bandung, namun kedua rumah sakit itu menyatakan hal yang sama bahwa istri saya sudah tidak dapat mengandung karena tidak ada sel telor yang dapat dibuahi. Namun puji Tuhan, dokter boleh berkata apa aja tapi kuasa Tuhan lebih dari perkataan dokter, Dia sanggup memberikan mujizat-Nya sehingga kami mendapatkan Nicki.

Saya hampir lupa akan kejadian itu bahkan saat anak saya sakit pun, saya tidak lari kepada Tuhan, malahan mengandalkan manusia. Dari kejadian itu iman saya mulai bangkit. Di dalam kebebalan saya, Tuhan masih mau menunjukkan kasih-Nya buat saya. Dia Tuhan yang tidak pernah terlambat, hati saya mulai hancur akan kebaikan Tuhan. Saya mulai berlutut dan berdoa pada Tuhan untuk mengampuni saya, selama ini saya adalah orang bodoh dan buta.

Saya belajar kejadian ini Tuhan ingin tunjukkan khusus buat saya, bukan untuk anak saya. Karena apa yang terjadi pada anak saya itu akibat dari kebebalan saya. Selesai berdoa, saya menghubungi teman saya kembali dan berkata bahwa saya tidak membutuhkan uang itu lagi serta mengucapkan terima kasih karena mereka sudah mau bersedia membantu kami sehingga besok mereka tidak perlu datang. Tiba-tiba saya dipenuhi roh takut berbuat dosa. Puji Tuhan, berkat kiriman uang dari ibu itu kami dapat membeli obat tepat pada waktunya.

Sudah lebih dari seminggu anak saya diopname, sepuluh hari kemudian sesuai dengan jadwal ia harus menjalankan kemoterapi. Masalah baru kembali muncul ketika obat kemoterapi harus kami beli di salah satu klinik kanker anak Indonesia di daerah Menteng. Saya kembali bergumul karena saya tidak memiliki cukup uang untuk membeli obat kemoterapi yang harganya hingga jutaan rupiah.

Sejak kedatangan ibu misterius itu, kini saya tidak pernah lagi mau minta tolong kepada siapapun juga, termasuk menceritakan tentang kesulitan kami kepada teman maupun pihak keluarga. Bahkan saya melarang istri saya untuk meminta bantuan kepada siapapun juga namun bila ada yang ingin memberkati kami, tetap akan diterima asalkan bukan kami yang minta.

Tuhan mempunyai cara-Nya sendiri, saya belajar untuk mengimani apa yang Tuhan katakan. Minta, cari dan ketuk. Saya tidak pernah minta anak saya untuk sembuh, tetapi saya minta agar kami diberi kekuatan untuk melewati ujian ini. Banyak cara Tuhan untuk memberkati keluarga saya, tiba-tiba saja ada orang tua murid yang menghubungi istri saya agar istri atau suami dapat datang kerumahnya karena ada titipan untuk kami.

Jika Tuhan yang memberi tidak pernah setengah-setengah. Kami mendapat uang sejumlah 30 juta rupiah, jumlah uang itu sesuai dengan kebutuhan kami untuk membeli obat kemoterapi dalam setiap bulannya, Tuhan selalu cukupkan. Saya sampai berdoa kepada Tuhan: “Tuhan sekarang Engkau mau kasih rintangan seperti apapun, saya ingin tetap mengandalkan Tuhan.”

Pada tahun 2001 tepatnya tiga bulan kemudian anak saya diperbolehkan pulang, sukacita kami tidak berlangsung lama karena anak saya hanya bertahan 1 bulan di rumah, ia kembali mulai demam panas, muncul kembali ruam kebiruan bahkan ditambah lagi benjolan pada bagian ketiak, daun telinga dan leher sebesar kelereng. Rupanya getah beningnya kini mulai membengkak.

Saya membawa anak saya kembali ke rumah sakit, setelah diperiksa ternyata sel kankernya mulai menyebar, dan ia harus diberikan transfusi darah karena kondisinya itu. Untuk mengambil darah saya harus datang ke PMI Salemba pada pukul 12 tengah malam. Dengan penuh perjuangan saya harus pergi ke tempat itu karena tidak adanya kendaraan.

Masalah kembali datang ternyata anak kami telah ditransfusi dengan golongan darah yang berbeda. Saya tidak menyadari itu dan tidak dapat memeriksa kembali karena surat pengantar ke PMI disegel. Akibatnya sel darah anak saya pecah selesai ditransfusi dengan gol darah yang salah sehingga BAB anak saya keluar darah, buang air kecil pun keluar darah warnanya sudah menjadi seperti oli kotor.

Saya menghubungi dokter dan menceritakan mengenai kejadian tersebut. Ketika mengetahui bahwa kantong transfusi dan surat pengantar lab tidak sama, dokter sangat marah sampai ia meminta saya untuk menuntut dokter lab yang ceroboh itu. Herannya saya tidak bereaksi apapun, padahal dulu saya orang yang sangat temperamental. Sesungguhnya yang membuat saya kuatir bukan hanya kesalahan transfusi saja tapi karena seluruh tubuh anak saya sudah berwarna putih seperti cat tembok, HB, trombosit dan leukosit juga sudah tidak normal.

.

Setelah kami berdiskusi dengan tim dokter maka kita sepakat untuk dapat menerima bantuan dari kenalan saya di gereja yang menjadi dokter ahli darah. Setelah dokter ahli darah kenalan saya itu memeriksa kondisi anak saya, ia menyarankan agar anak saya dapat diberikan O cuci sebagai obatnya (transfusi darah golongan O untuk membersihkan kesalahan transfusi sebelumnya yang hanya dilakukan dalam keadaan mendesak). Puji Tuhan setelah dua minggu kemudian anak saya kembali normal sehingga setelah 3 bulan kembali dilakukan kemoterapi.

Puncaknya pada tahun 2007, anak saya bukan semakin membaik justru harus diopname di rumah sakit selama 7,5 bulan. Tuhan memproses saya dalam 7,5 bulan, iman saya kembali diuji, bukan hanya masalah biaya kemoterapi tapi kali ini anak saya menjadi lumpuh, bicara pun sudah tidak mampu, minum juga harus ditetes satu-satu, pahanya tiba-tiba menyusut, semua imun tubuhnya dinyatakan sudah tidak ada, ususnya bocor, parahnya lagi jika tempat tidurnya disentuh sedikit saja, anak saya dapat menjerit menangis kesakitan.

Dengan keadaan yang seperti itu akhirnya tim dokter menyerah dan meminta anak saya agar dibawa pulang saja. Hati saya begitu hancur dan iman saya benar-benar diuji. Semua jenis pengobatan sudah dilakukan termasuk kemoterapi dan transfusi darah namun tetap tidak membuahkan hasil tetapi semakin menjadi parah. Saya tidak menyerah dan bertanya kepada tim dokter apa solusinya untuk anak tersebut karena menurut saya semua jenis penyakit pasti ada obatnya. Saya menyakinkan tim dokter agar mereka tidak mudah menyerah, tapi mencoba berusaha.

Akhirnya dokter membuat kesepakatan, mereka akan mencoba suatu obat lain yang secara tidak langsung sebenarnya anak saya akan dijadikan kelinci percobaan. Tanpa berpikir panjang saya langsung menyetujui dan bersedia menandatangani surat perjanjian agar tidak menuntut dikemudian hari apabila terjadi sesuatu. Herannya tidak ada perasaan khawatir sedikit pun. Saya tidak tahu kenapa saya begitu yakin.

Dokter memberikan obat buat anak saya berupa liquid sebanyak 125 ml, isi perbotol 10 ml dengan harga Rp. 1.870.000 sehingga saya membutuhkan 13 botol perminggu. Dalam hati, bagaimana saya mendapatkan uang 24 juta lebih untuk setiap minggunya. Di situlah Tuhan menunjukkan sekali lagi mukjizatnya, Tuhan kirimkan orang-orang yang tidak saya kenal datang secara bergantian untuk memberkati kami; bahkan saya dapat mengumpulkan uang hingga milyaran rupiah. Cara Tuhan sungguh ajaib, apabila Tuhan memberi tidak pernah dengan setengah-setengah.

Saya bersyukur memiliki istri yang selalu datang menguatkan saya ketika di dalam keadaan mulai putus asa melihat kondisi anak saya yang mulai lumpuh. Istri saya mengatakan: “Apabila Tuhan yang memberi; apapun itu juga tidak akan dapat mengambilnya termasuk penyakit ini, kecuali Tuhan yang ijinkan.” Kata-kata itulah yang menjadi iman dan kekuatan saya.

Jika Tuhan sudah membuka pintu, tak satupun yang bisa menutupnya.

"Aku tahu segala pekerjaanmu: lihatlah, Aku telah membuka pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh seorang pun. Aku tahu bahwa kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau menuruti firman-Ku dan engkau tidak menyangkal nama-Ku."
Wahyu 3:8

Saya belajar tentang iman yang sebenarnya. Selama ini saya tidak pernah berdoa minta agar dapat disembuhkan, hanya berdoa agar kami diberikan kekuatan untuk melewati setiap ujian dari Tuhan. Pada saat itu saya mulai bertindak secara profetik dan berdoa membasuh anak saya dengan dengan air hangat agar Tuhan mengantikan organ-organ tubuh yang rusak menjadi yang baru dan Tuhan sembuhkan. Setiap hari saya terus berdoa dan memperkatakan kesembuhan bagi anak saya.

Suatu hari sekitar pukul 11 pagi karena merasa tidak kuat melihat keadaannya, saya keluar dari ruangan isolasi anak saya. Saya berjalan menuju lorong rumah sakit yang sepi lalu saya jongkok besandar di tembok. Sementara itu saya melihat seorang bapa keluar dari lift memakai tongkat dengan rambut dan janggutnya yang berwarna putih, berumur sekitar 70 tahun dan di sampingnya nampak seorang pria berumur sekitar 45 tahun.

Tanpa saya sadari tiba-tiba mereka sudah berdiri di hadapan saya dan mengucapkan salam. Sontak saja saya kaget dan beranjak berdiri. Ketika dari dekat saya baru menyadari tenyata yang menyapa saya itu adalah kenalan saya yang datang bersama dengan hamba Tuhan yang biasa saya lihat di youtube, hamba Tuhan ini berkebangsaan Israel namun sudah lama tinggal di Amerika. Rupanya ia biasa melayani di tempat kenalan saya itu. Menurut ceritanya, saat hamba Tuhan itu tiba di bandara Jakarta, Roh Kudus minta agar dia datang untuk mendoakan anak Tuhan yang ada di rumah sakit. Tuhan menuntunnya hingga hamba Tuhan itu akhirnya dapat tiba sampai di sini.

Saya pun membawa mereka untuk datang menemui anak saya yang sakit itu, biasanya anak saya hanya mampu berbaring di tempat tidur saja. Saya membuka pintu ruangan isolasi tempat anak saya dirawat sehingga hamba Tuhan itu dapat masuk duluan. Baru saja hamba Tuhan itu memasuki ke dalam ruangan satu langkah tiba-tiba anak saya langsung duduk.

Saya kaget dan menangis terharu, anak saya tersenyum kepada hamba Tuhan itu. Dia mengucapkan salam kepada anak saya dan mulai berdoa serta mengurapi anak saya dengan minyak urapan dari kepala hingga ujung kakinya. Setelah berdoa hamba Tuhan itu pun minta ijin untuk pulang.

Keesokan paginya ketika dokter datang berkunjung dia begitu terkejut karena anak saya sudah dapat duduk sendiri, padahal sebelumnya hanya terbaring di tempat tidur. Jangankan untuk duduk; bila disentuh anak saya pasti sudah kesakitan, tapi pagi ini ketika dokter memeriksanya tidak ada keluhan apapun sama sekali.

Anak saya kembali diperiksa secara keseluruhan, termasuk diambil sample darah. Tim dokter yang memeriksa terheran-heran karena mereka tidak menemukan lagi penyakitnya dan menyatakan bahwa kondisi anak ini sudah bagus. Padahal selama satu bulan anak saya hanya bedrest tanpa diberikan kemoterapi apapun, tetapi kondisinya justru membaik.

Kaki anak saya mulai membesar dan mulai menjadi normal kembali. Hanya dalam sekitar dua minggu semuanya Tuhan dapat sembuhkan, usus anak saya Tuhan gantikan dengan yang baru. Bahkan kemoterapi akhirnya diputuskan untuk diberhentikan, padahal seharusnya masih dua tahun lagi di kemoterapi. Namun ketika diperiksa anak saya tidak memerlukan kemoterapi lagi.

Yesus sungguh luar biasa dahsyat, Tuhan sanggup menyembuhkan anak saya semudah membalikan telapak tangan. Tuhan menyatakan kuasa-Nya dengan memberikan mujizat kesembuhan untuk Nicki. Anak saya kini dinyatakan sembuh sampai hari ini. Kami juga mendapatkan bonus dari Tuhan dengan kehadiran anak kedua kami, seorang putri yang bernama Sinta.

Puji Tuhan, kini saya melayani Tuhan sebagai pengerja ibadah raya di GBI Point Square, saya dapat terus bertumbuh dan setia berpegang akan Firman-Nya. Dia Tuhan yang setia menempati setiap janji-janji-Nya. Kini Nicki sudah lulus dari kuliah dan berusia 26 tahun. Tetap beriman kepada-Nya sebab mukjizat Tuhan nyata bagi setiap kita. Jangan pernah tinggalkan Tuhan sekalipun kelihatannya semua jalan tertutup bagi kita. Tetap percaya dan setia kepada Tuhan Yesus sebab Dia tidak pernah terlambat untuk menolong kita yang selalu berharap dan percaya kepada-Nya. Amin.